For The Love of Cinema!
  • Blog
  • About
  • Contact

“13th” - Menguak Sejarah Di Balik Image Negatif Kaum Kulit Hitam A.S.

12/11/2016

0 Comments

 
Picture

Setelah menonton film dokumenter 13th kemungkinan besar Anda akan mendapatkan momen “A-HA!” terkait kemenangan (mengerikan) Donald Trump dalam pemilihan Presiden A.S. Well, doku ini sendiri bukan tentang pemilu tapi lebih berkisah tentang asal-usul perlakuan buruk kaum kulit hitam di Amerika dan mengapa image negatif tetap melekat pada mereka hingga kini.
 
Meskipun perbudakan telah dilarang sejak 1865 namun kubu negara bagian Selatan menemukan loophole dari seksi 1 Amandemen Konstitusi no. 13 yang menjamin kebebasan para budak: “Neither slavery nor involuntary servitude, EXCEPT as punishment for crime, shall exist within the United States.”
 
Ya, meskipun praktis perbudakan telah dihapus namun berkat detail kecil pada undang-undang tersebut maka orang kulit hitam yang dijadikan kriminal dan dibui bisa diperlakukan sebagai budak. Lantas orang-orang kulit hitam ini pun didakwa atas kasus minor seperti mencuri atau bahkan menggoda wanita, dan mereka pun kembali jadi pekerja paksa—alias budak—semisal untuk pembangunan rel kereta api. Sigh.
 
Maka mulailah fenomena kriminalisasi orang kulit hitam yang berlangsung hingga kini. Lalu apa hubungannya dengan President-elect Trump? 13th garapan Ava DuVernay (Selma) ini menampilkan footage dari kampanye pemilu masa lalu, terutama Richard Nixon, Ronald Reagan, dan Bill Clinton. Dan ketiganya sama-sama menggunakan taktik yang memicu rasa takut dari warganya; meskipun tak blak-blakkan menargetkan orang kulit hitam tapi kampanye mereka yang fokus pada War on Drugs otomatis membuat orang kulit hitam—yang mayoritas tinggal di slum area--rentan jadi target.
 
Kini orang kulit hitam kembali memenuhi penjara A.S., tak berbeda dari masa lalu. (Meski hanya 6,5% dari populasi A.S., namun sebesar 40,2 persen orang kulit hitam jadi narapidana!). FYI, beberapa dari mereka juga dipekerjakan (atau yang disebut “convict leasing” oleh salah satu narasumbernya) termasuk untuk brand-brand besar seperti JC Penney dan Victoria’s Secret. Something never change, huh?
 
The Verdict: Pasca pemilu dan pasca segala kericuhan antara polisi dan warga kulit hitam yang menjadi katalis gerakan Black Lives Matter, menonton 13th produksi Netflix ini memang terasa relevan, edukatif, dan mungkin eye-opening bagi para U.S. history buff. Walau banyak sekali talking heads (alias wawancara narasumber) di sepanjang film namun tema yang diangkat senantiasa fascinating sementara scoring lagu-lagu rap dengan lirik menyentil kian menekankan makna di balik visual.
 
4,5 Stars


*Artikel ini dimuat di majalah All Film Desember

0 Comments



Leave a Reply.

    Author

    Sahiri Loing

    A cinephile and a proudly couch potato who merely wants to share all the good things about cinema. 


    RSS Feed

    Archives

    December 2015
    November 2015
    October 2015
    August 2015
    December 2014
    October 2014

    Categories

    All

Powered by Create your own unique website with customizable templates.