Setting: sebuah rumah besar di tengah hutan di mana beberapa pria dan wanita hidup bersama. Saat makan malam, mereka tidak makan bareng—justru para wanita mesti menunggu penghuni prianya selesai makan dulu baru mereka boleh menempati meja makan.
Lantas keesokan paginya, Martha (Elizabeth Olsen) diam-diam meninggalkan rumah tersebut dan pergi menuju kota terdekat. Ia menelepon kakaknya, Lucy (Sarah Paulson) dengan suara ketakutan. Sang kakak pun langsung menjemputnya.
Adegan awal Martha Marcy May Marlene tersebut cukup berhasil membangun atmosfer misteri, dan build-up adegannya terkadang akan membuat Anda berpikir sedang menonton film horor (seperti ketika di pertengahan film terdapat adegan home invasion yang akan membuat jantung berdebar-debar karena Anda tidak tahu apakah sang pemilik rumah aman atau tidak).
Sebenarnya, Martha Marcy May Marlene bukanlah sebuah film misteri maupun horor, tapi lebih ke drama psikologis tentang pengaruh sebuah komunitas atau sekte terhadap kehidupan (dan psikologi) seorang wanita. Ya, komunitas dalam rumah tersebut adalah sebuah sekte yang dipimpin oleh seorang pria misterius dan karismatik (well, mereka haruslah karismatik!) bernama Patrick (John Hawkes), yang tampaknya bisa mengarang lagu on-the-spot tentang penghuni baru rumah tersebut. Pastinya kejutan lagu itu bukanlah yang pertama kali Patrick lakukan, dan tentu hal itu membuat wanita-wanita muda yang mayoritas memiliki latar belakang keluarga bermasalah—dan memiliki kepribadian yang rapuh—itu dengan gampang terpesona.
Di rumah itu, mereka belajar untuk hidup mandiri (untuk mendapat penghasilan para wanitanya terkadang menjual selimut di kota), mereka bercocok tanam untuk menyediakan pangan di atas meja maka, dan didoktrin kalau alkohol itu buruk (!) dan kematian adalah sesuatu yang indah. Jelas para damaged women ini merasa mereka akhirnya jadi bagian dari sesuatu yang signifikan dalam hidup.
Namun, tentunya, tinggal di komunitas itu tidak “gratis”—dan hal itu diketahui secara mendadak oleh Martha di tengah malam saat dia bangun tidur. Tapi wanita lainnya meyakinkan Martha kalau hal itu adalah sesuatu yang semestinya ia apresiasi, bagian dari proses “cleansing”. Sedihnya, Martha menerima penjelasan itu sebagai logika, dan kelak bahkan ia sendiri yang memulai “proses inisiasi” tersebut kepada seorang pendatang baru.
Sampai akhirnya terjadi suatu insiden yang membuat Martha ketakutan, dan yang membuatnya mengevaluasi kembali pandangan dan gaya hidup yang selama ini percayai itu.
Lantas keesokan paginya, Martha (Elizabeth Olsen) diam-diam meninggalkan rumah tersebut dan pergi menuju kota terdekat. Ia menelepon kakaknya, Lucy (Sarah Paulson) dengan suara ketakutan. Sang kakak pun langsung menjemputnya.
Adegan awal Martha Marcy May Marlene tersebut cukup berhasil membangun atmosfer misteri, dan build-up adegannya terkadang akan membuat Anda berpikir sedang menonton film horor (seperti ketika di pertengahan film terdapat adegan home invasion yang akan membuat jantung berdebar-debar karena Anda tidak tahu apakah sang pemilik rumah aman atau tidak).
Sebenarnya, Martha Marcy May Marlene bukanlah sebuah film misteri maupun horor, tapi lebih ke drama psikologis tentang pengaruh sebuah komunitas atau sekte terhadap kehidupan (dan psikologi) seorang wanita. Ya, komunitas dalam rumah tersebut adalah sebuah sekte yang dipimpin oleh seorang pria misterius dan karismatik (well, mereka haruslah karismatik!) bernama Patrick (John Hawkes), yang tampaknya bisa mengarang lagu on-the-spot tentang penghuni baru rumah tersebut. Pastinya kejutan lagu itu bukanlah yang pertama kali Patrick lakukan, dan tentu hal itu membuat wanita-wanita muda yang mayoritas memiliki latar belakang keluarga bermasalah—dan memiliki kepribadian yang rapuh—itu dengan gampang terpesona.
Di rumah itu, mereka belajar untuk hidup mandiri (untuk mendapat penghasilan para wanitanya terkadang menjual selimut di kota), mereka bercocok tanam untuk menyediakan pangan di atas meja maka, dan didoktrin kalau alkohol itu buruk (!) dan kematian adalah sesuatu yang indah. Jelas para damaged women ini merasa mereka akhirnya jadi bagian dari sesuatu yang signifikan dalam hidup.
Namun, tentunya, tinggal di komunitas itu tidak “gratis”—dan hal itu diketahui secara mendadak oleh Martha di tengah malam saat dia bangun tidur. Tapi wanita lainnya meyakinkan Martha kalau hal itu adalah sesuatu yang semestinya ia apresiasi, bagian dari proses “cleansing”. Sedihnya, Martha menerima penjelasan itu sebagai logika, dan kelak bahkan ia sendiri yang memulai “proses inisiasi” tersebut kepada seorang pendatang baru.
Sampai akhirnya terjadi suatu insiden yang membuat Martha ketakutan, dan yang membuatnya mengevaluasi kembali pandangan dan gaya hidup yang selama ini percayai itu.
Doktrinasi Jiwa yang Rapuh
Bila Anda penasaran kenapa judul film ini memuat empat nama depan wanita, well, sebenarnya itu hanya menekankan betapa anonim dan tergantikannya para wanita yang tinggal dalam sekte tersebut. They could be Martha, Marcy, May, Marlene—tak peduli siapa namanya, mereka hanyalah wanita-wanita impressionable yang potensial untuk jadi pengikut sang pemimpin sekte.
Sean Durkin memulai debut penyutradaraannya dalam film ini (dan ia juga yang menulis skenarionya), dan hasilnya cukup impresif dan menjanjikan (ia menang Best Directing di Festival Sundance 2011), sukses menciptakan atmosfer yang terkadang sangat mencekam di beberapa adegan. Ia juga berhasil melakukan transisi antara adegan masa kini di mana Martha tinggal bersama Lucy dan suaminya di sebuah rumah besar yang menghadap danau, dan masa lalu ketika Martha masih jadi bagian dari komunitas. Semuanya mengalir sempurna, dan tiap perpindahan memiliki keterkaitan yang relevan, seperti sebuah adegan masa lalu beralih ke masa kini ketika Martha tiba-tiba masuk ke kamar sang kakak dan berbaring di ranjang—saat Lucy dan suaminya tengah berhubungan intim! Percayalah, hal itu tidak ditujukan untuk membuat audiens shock, tapi justru menjelaskan tabiat dan motivasi Martha yang kian hari makin membingungkan, dan betapa kejadian masa lalu dapat selalu memengaruhi masa kini.
“I am a teacher and a leader,” ucap Martha ketika Lucy coba mengorek tentang apa yang terjadi kepada adiknya setelah dua tahun menghilang. Namun Martha tetap bungkam, yang kemudian menimbulkan konflik dengan Ted (Hugh Dancy), suami Lucy, yang menganggap dia aneh dan malas karena tidak punya rencana untuk cari kerja. Dan selama dia tinggal di sana Martha juga terus paranoid kalau Patrick dkk akan menemukan dia.
Perannya di film yang rilis tahun 2011 merupakan kali pertama cinemagoers melihat potensi Elisabeth Olsen sebagai aktor, bukan adik dari si kembar Mary Kate dan Ashley Olsen semata. (Dan kelak ia akan lebih dikenal sebagai Scarlet Witch dalam sekuel The Avengers.) And she’s great here, walau lakon sebagai Martha sebenarnya tidak butuh performa yang meledak-ledak, namun Olsen sukses memancarkan pergolakan batin Martha saat menghadapi the grey areas dalam hidupnya: di satu sisi, ia betah tinggal bersama Patrick dalam komunitas tersebut karena ia merasa punya “rumah” dan tujuan, namun di sisi lain, ia sadar kalau beberapa tindakan Patrick tidak benar secara moral. Sementara bersama Lucy, ia merasa mesti mengikuti norma hidup masyarakat pada umumnya: bekerja, menikah, have babies, dan begitu seterusnya. Ia tidak menyukainya, tapi suatu saat ia harus menerimanya.
Supporting cast-nya pun solid, apalagi dari John Hawkes, seorang character actor yang sudah lama berkarier di industri perfilman namun yang baru terdengar gaungnya berkat nominasi Oscar sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Winter’s Bone (2010) dan performanya yang superimpresif di The Sessions tahun 2012 yang sayangnya gagal memberikan dia nominasi Oscar keduanya. Sarah Paulson (American Horror Story) juga bermain apik dan sukses menampilkan keraguan seorang kakak yang antara ingin membantu sang adik dan menampiknya. Namun entah kenapa aktor asal Inggris, Hugh Dancy, yang bermain sebagai suaminya memutuskan untuk terlibat dalam film ini karena perannya sebenarnya cukup kecil (walau dia punya adegan signifikan di meja makan di mana ia berdebat dengan Martha).
Kesimpulannya, Martha Marcy May Marlene bukanlah film yang akan membuat Anda nyaman saat menontonnya, tapi performa yang engaging dan natural dari Elisabeth Olsen akan membuat Anda peduli terhadap tiap nama pada judul.
Bila Anda penasaran kenapa judul film ini memuat empat nama depan wanita, well, sebenarnya itu hanya menekankan betapa anonim dan tergantikannya para wanita yang tinggal dalam sekte tersebut. They could be Martha, Marcy, May, Marlene—tak peduli siapa namanya, mereka hanyalah wanita-wanita impressionable yang potensial untuk jadi pengikut sang pemimpin sekte.
Sean Durkin memulai debut penyutradaraannya dalam film ini (dan ia juga yang menulis skenarionya), dan hasilnya cukup impresif dan menjanjikan (ia menang Best Directing di Festival Sundance 2011), sukses menciptakan atmosfer yang terkadang sangat mencekam di beberapa adegan. Ia juga berhasil melakukan transisi antara adegan masa kini di mana Martha tinggal bersama Lucy dan suaminya di sebuah rumah besar yang menghadap danau, dan masa lalu ketika Martha masih jadi bagian dari komunitas. Semuanya mengalir sempurna, dan tiap perpindahan memiliki keterkaitan yang relevan, seperti sebuah adegan masa lalu beralih ke masa kini ketika Martha tiba-tiba masuk ke kamar sang kakak dan berbaring di ranjang—saat Lucy dan suaminya tengah berhubungan intim! Percayalah, hal itu tidak ditujukan untuk membuat audiens shock, tapi justru menjelaskan tabiat dan motivasi Martha yang kian hari makin membingungkan, dan betapa kejadian masa lalu dapat selalu memengaruhi masa kini.
“I am a teacher and a leader,” ucap Martha ketika Lucy coba mengorek tentang apa yang terjadi kepada adiknya setelah dua tahun menghilang. Namun Martha tetap bungkam, yang kemudian menimbulkan konflik dengan Ted (Hugh Dancy), suami Lucy, yang menganggap dia aneh dan malas karena tidak punya rencana untuk cari kerja. Dan selama dia tinggal di sana Martha juga terus paranoid kalau Patrick dkk akan menemukan dia.
Perannya di film yang rilis tahun 2011 merupakan kali pertama cinemagoers melihat potensi Elisabeth Olsen sebagai aktor, bukan adik dari si kembar Mary Kate dan Ashley Olsen semata. (Dan kelak ia akan lebih dikenal sebagai Scarlet Witch dalam sekuel The Avengers.) And she’s great here, walau lakon sebagai Martha sebenarnya tidak butuh performa yang meledak-ledak, namun Olsen sukses memancarkan pergolakan batin Martha saat menghadapi the grey areas dalam hidupnya: di satu sisi, ia betah tinggal bersama Patrick dalam komunitas tersebut karena ia merasa punya “rumah” dan tujuan, namun di sisi lain, ia sadar kalau beberapa tindakan Patrick tidak benar secara moral. Sementara bersama Lucy, ia merasa mesti mengikuti norma hidup masyarakat pada umumnya: bekerja, menikah, have babies, dan begitu seterusnya. Ia tidak menyukainya, tapi suatu saat ia harus menerimanya.
Supporting cast-nya pun solid, apalagi dari John Hawkes, seorang character actor yang sudah lama berkarier di industri perfilman namun yang baru terdengar gaungnya berkat nominasi Oscar sebagai Aktor Pendukung Terbaik di Winter’s Bone (2010) dan performanya yang superimpresif di The Sessions tahun 2012 yang sayangnya gagal memberikan dia nominasi Oscar keduanya. Sarah Paulson (American Horror Story) juga bermain apik dan sukses menampilkan keraguan seorang kakak yang antara ingin membantu sang adik dan menampiknya. Namun entah kenapa aktor asal Inggris, Hugh Dancy, yang bermain sebagai suaminya memutuskan untuk terlibat dalam film ini karena perannya sebenarnya cukup kecil (walau dia punya adegan signifikan di meja makan di mana ia berdebat dengan Martha).
Kesimpulannya, Martha Marcy May Marlene bukanlah film yang akan membuat Anda nyaman saat menontonnya, tapi performa yang engaging dan natural dari Elisabeth Olsen akan membuat Anda peduli terhadap tiap nama pada judul.