Di Hollywood, aktor asal atau keturunan Asia memiliki nasib yang sama dengan aktor beridentitas African-American, yang berarti mereka cenderung diminoritaskan dan kerap dapat peran kecil atau stereotipe. Contoh peran stereotipe bagi aktor Asia adalah sebagai sahabat, sidekick, atau penjahat (yang bila gendernya wanita biasanya dijuluki dragon lady).
Bagi aktor keturunan China, tampaknya belum ada regenerasi semenjak Lucy Liu jadi salah satu aktris papan atas Hollywood. Namun Liu pun kerap terjebak peran stereotipe jadi dragon lady atau wanita Asia yang jago bela diri, seperti yang bisa dilihat dari film-film seperti Payback, dua seri Charlie’s Angels, dan Shanghai Noon. (Untungnya kini Liu dapat peran cukup “normal” di serial televisi Elementary.)
Maka dari itu, sangat refreshing melihat sebuah film yang menggambarkan karakter wanita asal China yang lebih kompleks dari yang biasa ditampilkan—walaupun film tersebut sudah berusia 20 tahun lebih. The Joy Luck Club adalah buku karangan Amy Tan yang berkisah tentang dua generasi wanita asal China yang kini menetap di Amerika. Empat wanita berimigrasi ke benua Paman Sam dengan harapan bisa memberikan hidup yang lebih baik kepada anak perempuan mereka.
Seperti Suyuan (Kieu Chinh) yang kabur seorang diri dari China yang saat itu tengah dijajah Jepang dengan kedua anak bayinya, namun yang akhirnya karena satu alasan mesti meninggalkan mereka di pinggir jalan. Maka ia memberi tekanan cukup besar kepada anak satu-satunya dari hasil pernikahan berikutnya, June (Ming Na Wen), seorang penulis, untuk menjadi seseorang yang “spesial”.
Lalu ada Auntie Lindo, yang tampaknya tak pernah puas dengan pilihan hidup anaknya, Waverly (Tamlyn Tomita), terutama soal pasangan. Apalagi Waverly sudah bercerai dan memiliki satu anak, dan kini ia berpacaran dengan seorang pria asal Amerika yang ia takuti tidak dapat mengikuti tradisi Timur yang masih diusung dalam keluarganya. Walau Waverly termasuk sosok wanita karier yang independen, namun ia tetap tak bisa terlepas dari bayang-bayang sang Ibu.
Sementara itu, ada Ying-Ying (Frances Nuyen) yang prihatin melihat hidup anaknya, Lena (Lauren Tom), yang kurang bahagia lantaran merasa terperangkap dalam pernikahan yang terlalu kalkulatif lantaran suaminya sangat perhitungan. Bertolak belakang dengan hal itu, An-Mei (Lisa Lu) justru merasa anaknya, Rose (Rosalind Chao), terlalu memprioritaskan hidup dan keinginan sang suami sehingga ia jadi tak punya identitas.
The Asian/American Identity
Ya, selain jadi wanita seksi yang lihai berakrobat dan melayangkan tinju maupun tendangan, wanita Asia versi layar lebar terkadang cenderung digambarkan pasif dan penurut. Seperti karakterisasi Rose yang senantiasa mengedepankan sosok pasangan sehingga ketika ia mengetahui sang suami berselingkuh maka ia pun langsung merasa hidupnya runtuh.
Namun tentu The Joy Luck Club (nama yang berasal dari grup mahjong yang dibentuk oleh keempat wanita dalam film) tidak berlarut-larut dalam stereotipe tersebut, karena intensi utamanya justru adalah mencoba untuk mendobrak stereotipe tersebut dan menampilkan beragam sisi lain dari wanita Asia, atau lebih tepatnya, bagi mereka yang lahir dan besar di Amerika, yang bahkan beberapa tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak malu untuk mengakuinya. Tiap karakter dapat porsi cerita yang cukup seimbang, yang dibagi antara masa lalu (hidup sang Ibu) dan masa kini (hidup sang anak), dan semuanya dapat treatment cerita yang adil dan memikat, memaparkan suka-duka hidup di era masa lalu yang represif yang kemudian berkorespondensi—atau bahkan kontras—dari apa yang terjadi saat ini.
Seperti Lindo yang oleh sang ibu (atas rekomendasi dari seorang matchmaker) dijual ke keluarga kaya untuk menjadi istri anak laki-laki mereka. Di usia belasan tahun ia sudah diharapkan untuk memberikan keturunan, dan ketika keinginan itu tidak terwujudkan, ia pun di-abuse oleh mertuanya. Namun, dengan trik yang cerdas, akhirnya Lindo pun bisa membebaskan diri dari pernikahan tersebut. Dibandingkan background yang lainnya, porsi cerita Lindo adalah yang paling lucu dan menghibur (walau cerita yang mengawalinya cenderung heartbreaking).
Kontras dengan cerita An-Mei yang ibunya diasingkan dari keluarga lantaran sudi jadi istri keempat seorang pria kaya—tak lama setelah suaminya meninggal. Namun motivasi dan nasib sang Ibu kelak akhirnya memberikan pencerahan bagi An-Mei kalau setiap wanita mampu jadi pengemudi hidupnya sendiri. Sementara Ying-Ying adalah wanita yang pernikahannya dulu diwarnai oleh abuse dan perselingkuhan sang suami (Russel Wong), yang baru menyadari telat kalau semestinya ia menuntut untuk keluar dari pernikahan tersebut sejak dulu.
Ya, ceritanya memang sangat empowering, yang mungkin mampu melampaui satu identitas rasial semata. Namun The Joy Luck Club sarat dengan simbolisasi dan gestur kultural yang memang identik dengan Asia, semisal keterikatan keluarga (walaupun itu bisa dibilang sebagai tradisi timur secara umum) dan tata krama saat perayaan besar maupun dinner keluarga yang sederhana (camkan, jangan mengambil lebih dari satu sendok kalau anggota keluarga yang lain belum mengambil porsi mereka). Segala kompleksitas itu tak luput dieksplor oleh sutradara asal Hong Kong, Wayne Wang (Maid in Manhattan), dan ia memberikan kendali penuh akan filmnya kepada para aktornya yang terdiri dari aktris-aktris Asia kawakan hingga para aktris Amerika keturunan China, dengan yang paling populer adalah Ming-Na Wen (dari serial ER dan Agent of S.H.I.E.L.D.S).
The Joy Luck Club terkadang akan terasa terlalu eksposisional, tiap emosi terpapar mentah yang disertai dengan dialog yang terlontar secara teatrikal (terutama dalam porsi cerita Ying-Ying, lengkap dengan akting dan music score yang tak kalah teatrikal), namun bukan berarti hal itu jadi membungkam intensi filmnya. Kita tetap akan merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang dialami oleh tiap karakternya, dan menghargai perjuangan yang mereka lalui demi mencapai masa depan yang lebih baik. Just like their daughters’ eventually do...
Asian Screen Legend
Tak mudah jadi aktor di Hollywood bila Anda keturunan Asia. Tanya saja Anna May Wong (yang dinobatkan sebagai aktris Chinese-American pertama yang jadi movie star di Hollywood era 20an) atau keempat aktris The Joy Luck Club berikut ini.
Tsai Chin
Di antara aktris lainnya, mungkin Tsai Chin yang paling populer di mata cinemagoers internasional lantaran ia pernah jadi Bond Girl untuk film You Only Live Twice (1967), dan ikut memberikan cameo di Casino Royale. Walau di pengujung kariernya wanita kelahiran Shanghai, China, ini lebih sering bermain di serial televisi, namun di masa jayanya Chin yang lulusan Royal Dramatic Arts London ini mencuri perhatian baik di layar lebar maupun di atas panggung, dengan yang paling populer adalah The World of Suzie Wong (walau sayangnya ia tak terlibat untuk versi layar lebarnya).
Kieu Chinh
Aktris asal Hanoi, Vietnam, ini jelas tumbuh-besar di era yang tak bersahabat karena perang yang terjadi di negaranya. Namun, walau tak meluas, sosok Chinh tetap bisa mencuat berkat kecintaannya pada seni peran lewat keterlibatannya dalam film Operation CIA (1965) dengan Burt Reynolds, dan serial televisi populer seperti M*A*S*H dan China Beach, keduanya berlatar belakang perang Vietnam.
France Nuyen
Penampilannya sangat pas bila disebut Eurasian, karena memang dia berketurunan Vietnam-Prancis, dan ia lahir serta dibesarkan di Prancis. Aktris yang sempat menjalin relationship dengan aktor legendaris, Marlon Brando, ini dikenal dari film-film seperti South Pacific (1958) dan serial televisi Star Trek (1966). Sama seperti Chin, ia juga sempat melakoni peran utama dalam The World of Suzie Wong. Kini Nuyen lebih fokus pada profesinya sebagai counselor bagi korban kekerasan keluarga.
Lisa Lu
Aktris kelahiran Beijing, China, ini pertama jadi sorotan sebagai wanita oriental yang eksotis dalam serial televisi bergenre western, Yancy Derringer (1958), dan yang kemudian merambah ke layar lebar dalam film-film seperti The Mountain Road (1960) bersama James Stewart, Saint Jack (1979), dan The Last Emperor (1987).
Bagi aktor keturunan China, tampaknya belum ada regenerasi semenjak Lucy Liu jadi salah satu aktris papan atas Hollywood. Namun Liu pun kerap terjebak peran stereotipe jadi dragon lady atau wanita Asia yang jago bela diri, seperti yang bisa dilihat dari film-film seperti Payback, dua seri Charlie’s Angels, dan Shanghai Noon. (Untungnya kini Liu dapat peran cukup “normal” di serial televisi Elementary.)
Maka dari itu, sangat refreshing melihat sebuah film yang menggambarkan karakter wanita asal China yang lebih kompleks dari yang biasa ditampilkan—walaupun film tersebut sudah berusia 20 tahun lebih. The Joy Luck Club adalah buku karangan Amy Tan yang berkisah tentang dua generasi wanita asal China yang kini menetap di Amerika. Empat wanita berimigrasi ke benua Paman Sam dengan harapan bisa memberikan hidup yang lebih baik kepada anak perempuan mereka.
Seperti Suyuan (Kieu Chinh) yang kabur seorang diri dari China yang saat itu tengah dijajah Jepang dengan kedua anak bayinya, namun yang akhirnya karena satu alasan mesti meninggalkan mereka di pinggir jalan. Maka ia memberi tekanan cukup besar kepada anak satu-satunya dari hasil pernikahan berikutnya, June (Ming Na Wen), seorang penulis, untuk menjadi seseorang yang “spesial”.
Lalu ada Auntie Lindo, yang tampaknya tak pernah puas dengan pilihan hidup anaknya, Waverly (Tamlyn Tomita), terutama soal pasangan. Apalagi Waverly sudah bercerai dan memiliki satu anak, dan kini ia berpacaran dengan seorang pria asal Amerika yang ia takuti tidak dapat mengikuti tradisi Timur yang masih diusung dalam keluarganya. Walau Waverly termasuk sosok wanita karier yang independen, namun ia tetap tak bisa terlepas dari bayang-bayang sang Ibu.
Sementara itu, ada Ying-Ying (Frances Nuyen) yang prihatin melihat hidup anaknya, Lena (Lauren Tom), yang kurang bahagia lantaran merasa terperangkap dalam pernikahan yang terlalu kalkulatif lantaran suaminya sangat perhitungan. Bertolak belakang dengan hal itu, An-Mei (Lisa Lu) justru merasa anaknya, Rose (Rosalind Chao), terlalu memprioritaskan hidup dan keinginan sang suami sehingga ia jadi tak punya identitas.
The Asian/American Identity
Ya, selain jadi wanita seksi yang lihai berakrobat dan melayangkan tinju maupun tendangan, wanita Asia versi layar lebar terkadang cenderung digambarkan pasif dan penurut. Seperti karakterisasi Rose yang senantiasa mengedepankan sosok pasangan sehingga ketika ia mengetahui sang suami berselingkuh maka ia pun langsung merasa hidupnya runtuh.
Namun tentu The Joy Luck Club (nama yang berasal dari grup mahjong yang dibentuk oleh keempat wanita dalam film) tidak berlarut-larut dalam stereotipe tersebut, karena intensi utamanya justru adalah mencoba untuk mendobrak stereotipe tersebut dan menampilkan beragam sisi lain dari wanita Asia, atau lebih tepatnya, bagi mereka yang lahir dan besar di Amerika, yang bahkan beberapa tidak bisa berbahasa Mandarin dan tidak malu untuk mengakuinya. Tiap karakter dapat porsi cerita yang cukup seimbang, yang dibagi antara masa lalu (hidup sang Ibu) dan masa kini (hidup sang anak), dan semuanya dapat treatment cerita yang adil dan memikat, memaparkan suka-duka hidup di era masa lalu yang represif yang kemudian berkorespondensi—atau bahkan kontras—dari apa yang terjadi saat ini.
Seperti Lindo yang oleh sang ibu (atas rekomendasi dari seorang matchmaker) dijual ke keluarga kaya untuk menjadi istri anak laki-laki mereka. Di usia belasan tahun ia sudah diharapkan untuk memberikan keturunan, dan ketika keinginan itu tidak terwujudkan, ia pun di-abuse oleh mertuanya. Namun, dengan trik yang cerdas, akhirnya Lindo pun bisa membebaskan diri dari pernikahan tersebut. Dibandingkan background yang lainnya, porsi cerita Lindo adalah yang paling lucu dan menghibur (walau cerita yang mengawalinya cenderung heartbreaking).
Kontras dengan cerita An-Mei yang ibunya diasingkan dari keluarga lantaran sudi jadi istri keempat seorang pria kaya—tak lama setelah suaminya meninggal. Namun motivasi dan nasib sang Ibu kelak akhirnya memberikan pencerahan bagi An-Mei kalau setiap wanita mampu jadi pengemudi hidupnya sendiri. Sementara Ying-Ying adalah wanita yang pernikahannya dulu diwarnai oleh abuse dan perselingkuhan sang suami (Russel Wong), yang baru menyadari telat kalau semestinya ia menuntut untuk keluar dari pernikahan tersebut sejak dulu.
Ya, ceritanya memang sangat empowering, yang mungkin mampu melampaui satu identitas rasial semata. Namun The Joy Luck Club sarat dengan simbolisasi dan gestur kultural yang memang identik dengan Asia, semisal keterikatan keluarga (walaupun itu bisa dibilang sebagai tradisi timur secara umum) dan tata krama saat perayaan besar maupun dinner keluarga yang sederhana (camkan, jangan mengambil lebih dari satu sendok kalau anggota keluarga yang lain belum mengambil porsi mereka). Segala kompleksitas itu tak luput dieksplor oleh sutradara asal Hong Kong, Wayne Wang (Maid in Manhattan), dan ia memberikan kendali penuh akan filmnya kepada para aktornya yang terdiri dari aktris-aktris Asia kawakan hingga para aktris Amerika keturunan China, dengan yang paling populer adalah Ming-Na Wen (dari serial ER dan Agent of S.H.I.E.L.D.S).
The Joy Luck Club terkadang akan terasa terlalu eksposisional, tiap emosi terpapar mentah yang disertai dengan dialog yang terlontar secara teatrikal (terutama dalam porsi cerita Ying-Ying, lengkap dengan akting dan music score yang tak kalah teatrikal), namun bukan berarti hal itu jadi membungkam intensi filmnya. Kita tetap akan merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang dialami oleh tiap karakternya, dan menghargai perjuangan yang mereka lalui demi mencapai masa depan yang lebih baik. Just like their daughters’ eventually do...
Asian Screen Legend
Tak mudah jadi aktor di Hollywood bila Anda keturunan Asia. Tanya saja Anna May Wong (yang dinobatkan sebagai aktris Chinese-American pertama yang jadi movie star di Hollywood era 20an) atau keempat aktris The Joy Luck Club berikut ini.
Tsai Chin
Di antara aktris lainnya, mungkin Tsai Chin yang paling populer di mata cinemagoers internasional lantaran ia pernah jadi Bond Girl untuk film You Only Live Twice (1967), dan ikut memberikan cameo di Casino Royale. Walau di pengujung kariernya wanita kelahiran Shanghai, China, ini lebih sering bermain di serial televisi, namun di masa jayanya Chin yang lulusan Royal Dramatic Arts London ini mencuri perhatian baik di layar lebar maupun di atas panggung, dengan yang paling populer adalah The World of Suzie Wong (walau sayangnya ia tak terlibat untuk versi layar lebarnya).
Kieu Chinh
Aktris asal Hanoi, Vietnam, ini jelas tumbuh-besar di era yang tak bersahabat karena perang yang terjadi di negaranya. Namun, walau tak meluas, sosok Chinh tetap bisa mencuat berkat kecintaannya pada seni peran lewat keterlibatannya dalam film Operation CIA (1965) dengan Burt Reynolds, dan serial televisi populer seperti M*A*S*H dan China Beach, keduanya berlatar belakang perang Vietnam.
France Nuyen
Penampilannya sangat pas bila disebut Eurasian, karena memang dia berketurunan Vietnam-Prancis, dan ia lahir serta dibesarkan di Prancis. Aktris yang sempat menjalin relationship dengan aktor legendaris, Marlon Brando, ini dikenal dari film-film seperti South Pacific (1958) dan serial televisi Star Trek (1966). Sama seperti Chin, ia juga sempat melakoni peran utama dalam The World of Suzie Wong. Kini Nuyen lebih fokus pada profesinya sebagai counselor bagi korban kekerasan keluarga.
Lisa Lu
Aktris kelahiran Beijing, China, ini pertama jadi sorotan sebagai wanita oriental yang eksotis dalam serial televisi bergenre western, Yancy Derringer (1958), dan yang kemudian merambah ke layar lebar dalam film-film seperti The Mountain Road (1960) bersama James Stewart, Saint Jack (1979), dan The Last Emperor (1987).